Polemik Abu Sayyaf: Karma Malaysia dan Indonesia Karena Telah Membantu MNLF Tempo Dulu?

Source: www.rappler.com

Akhir-akhir ini pemberitaan heboh-hebohnya menayangkan betapa ganas dan kejinya kekejaman kelompok teroris (Red:Perjuangan Gerilyawan) Abu Sayyaf, salah satu cabang pecahan Moro Liberation National Front (MNLF) Di Filipina Selatan. Tindakan keji  yang salah satunya memenggal tawanan asal Kanada, John Ridsel memberikan sinyal yang kuat bahwa siapa saja tawanan yang berada di dalam kekuasaan mereka siap menghadapi nasib yang serupa apabila permintaan mereka yang dalam hal ini tebusan uang sejumlah tertentu tidak dikabulkan. Semua elemen masyarakat Indonesia mengecam perbuatan kelompok teroris tersebut dan cemas akan nasib tawanan Indonesia akan menjadi korban selanjutnya. Bukan isapan jempol belaka, jika kelompok teroris ini mampu berbuat di luar batas kewajaran manusia jika permintaannya tidak dipenuhi, buktinya banyak korban-korban berjatuhan tiap harinya dan akan terus bertambah tentunya.

Media Indonesia tak kalah mengecam tindakan Abu Sayyaf tersebut, mereka seakan-akan menunjukan bahwa Indonesia adalah korban dari konflik antara Filipina dan gerakan separatis di Filipina Selatan. Well, asal pembaca tahu, bahwa Indonesia sendiri pernah (dan masih) berhubungan baik serta membantu MNLF untuk mendapatkan kedaulatannya. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang dengan sembunyi-sembunyi ikut memperkuat gerakan separatis ini hingga tidak terkendali seperti ini. Dengan kejadian ini dimana banyak tawanan Indonesia dan Malaysia yang ditangkap, Apakah ini sebuah karma atau hanya salah memberikan dukungan kepada satu pihak?

Sebagai informasi, kelompok terorris Abu Sayyaf  adalah kelompok teroris yang berbasis di Pulau Jolo dan Basilan, Filipina Selatan. Kelompok ini merupakan salah satu pecahan dari Moro Liberation National Front (MNLF) atau di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan nama Front Pembebasan Muslim Moro, suatu gerakan separatis yang dibentuk pada tahun oleh Abubakar Janjalani dengan tujuan mendirikan Negara Teokrasi yang menganut prinsip-prinsip Syariah di Filipina Selatan.

Hubungan Indonesia dengan MNLF dimulai ketika Suharto menunjukan ketidaksukaanya kepada Presiden Ferdinand Marcos dalam menangani permasalahan di Filipina Selatan. Selanjutnya untuk menyelesaikan kesalahpahaman tersebut Marcos datang ke Jakarta pada awal tahun 1980-an untuk meminta dukungan dari Indonesia agar Filipina dapat berdamai dengan MNLF dengan syarat disintegrasi tidak termasuk sebagai pilihan.

Pemerintah Indonesia pada waktu itu menerima usulan Marcos tersebut yang memandang Indonesia sebagai mediator terbaik selain sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, budaya bangsa Indonesia sangatlah mirip dengan budaya Negara Filipina khususnya yang berada di Selatan. Indonesia kemudian membawa masalah Mindanau ke Forum Menteri Luar Negeri Negara Muslim. Dibentuk Komite Enam, dengan Indonesia sebagai ketuanya.

Namun meskipun begitu, Indonesia tetap mendukung setiap pergerakan MNLF ini walaupun terang-terangan mereka telah melakukan tindakan-tindakan terorisme seperti penyerangan Kota Zamboanga pada tahun 1990-an, yang menelan 12 korban jiwa, 70 lainnya luka berat. Pemerintah Indonesia dengan gamblangnya mendukung setiap aspirasi MNLF dan pernah mengatakan bahwa Filipina harus menghormati kedaulatan MNLF karena adanya perbedaan budaya dan agama, padahal tidak 5 tahun sebelumnya, Indonesia malah mencaplok kedaulatan Timor Timur yang pada waktu itu mempunyai penduduk yang jelas-jelas berbeda dari segi budaya dan agama.

Hubungan baik antara Indonesia dengan MNLF ini terus berlanjut buktinya  baru-baru ini ketika 1o orang Indonesia menjadi tawanan Abu Sayyaf, MNLF dengan gamblangnya mencoba dengan sekuat tenaga untuk melobi mantan teman seperjuangannya tersebut untuk membebaskan tawanan Indonesia dan terbukti berhasil. Abu Sayyaf yang sememangnya punya hubungan baik dengan MNLF membebaskan tawanan Indonesia tanpa tebusan sepeserpun, suatu usaha yang luar biasa dan aneh mengingat mereka sangat ganas dalam meminta tebusan kepada Presiden Jokowi namun ditolak mentah-mentah. Pertanyaan yang mengherankan adalah mengapa Abu Sayyaf sangat patuh kepada MNLF? dan mengapa hubungan Indonesia sangat dekat dengan MNLF? tentu ada hubungan khusus bukan??
The risk factors that can cause these problems can be controlled discount viagra usa with the help of effective treatments. However, such an approach generic viagra samples should not be used at the server or client level. In cases where ED is due to low viagra tablets online testosterone, bioidentical hormone replacement therapy (BHRT)is often suggested. Other prostate cancer sildenafil price in india treatments might also affect the consumption of ED medicine.
Informasi yang diketahui adalah bahwa MNLF berpecah menjadi tiga bagian yaitu Moro Islamic Liberation Front, kelompok 15EC dan Abu Sayyaf. Ketiganya memisahkan diri dari MNLF pimpinan Nur Misuari dengan alasan Muslim Filipina tidak seharusnya berdamai dengan Negara Filipina dan harus lebih keras lagi untuk memperoleh kemerdekaan. Abu Sayyaf sendiri didirikan oleh Khadafy Janjalani pada Tahun 2001. Sejak pendiriannya grup haluan keras ini telah banyak melakukan tindakan kejam yang luar biasa, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan merupakan berita-berita yang selalu disuguhi apabila bersinggungan dengan Abu Sayyaf.

Namun tampaknya meskipun sudah berpisah dari MNLF, Abu Sayyaf ini sememangnya masih berteman baik dengan grup induknya tersebut secara banyak mantan anggota MNLF kini berhaluan menjadi anggota Abu Sayyaf, tentunya kacang tidak akan lupa dengan kulitnya. Indonesia sendiri dinilai oleh MNLF sebagai salah satu Negara (selain Malaysia) yang berjasa menciptakan kedaulatan bangsa Moro atas Filipina Selatan, terbukti kini Mindanau, Sulu dan sekitarnya menjadi wilayah Filipina yang mendapatkan Otonomi dan Pemerintahan tersendiri seluas-luasnya. Kedaulatan yang diberikan ini bukan seperti Otonomi Khusus yang diberikan kepada Papua dan Aceh melainkan lebih dari itu, dimana hukum nasional tidak berlaku di daerah tersebut.

Akan tetapi bukan hanya Indonesia saja yang terbukti membantu gerakan MNLF untuk membesarkan kekuasaannya di Laut Sulu tersebut. Malaysia bahkan terang-terangan membantu setiap pergerakan separatis di Filipina Selatan. Malaysia selama puluhan tahun melatih dan melindungi MNLF. Demikian pula pemerintah Malaysia memberikan banyak kewarganegaraan kepada banyak orang Filipina yang kebanyakan suku Tausug – pendukung pejuang Moro paling militant – untuk tujuan politik memenangi pilihan raya / pemilu agar UMNO memenangi pilihan raya melawan Partai Sabah Bersatu (PBS) yang didominasi Kristen. Kesamaan agama diyakini oleh UMNO bahwa orang Tausug tidak akan melawan sesama Muslim c.q pemerintah Malaysia.

Namun sayangnya Malaysia kini harus menuai hasil perbuatan serta dosa-dosa mereka kepada Negara tetangganya Filipina yang sampai saat ini masih menghormati mereka dengan cara mendukung kedauatan Malaysia atas Sabah meskipun secara Sejarah Sabah merupakan bagian dari Kesultanan Sulu, Malaysia hanya menyewa saja di Sabah sampai akhirnya mereka menolak mengembalikan wilayah warisan orang Sulu tersebut kepada pemilik aslinya. Ketika Masyarakat Sulu meminta kembali, Malaysia tidak menggubris permintaan itu dan malah mengancam balik orang-orang yang loyal kepada Kesultanan di Filipina Selatan tersebut. Alhasil, pada awal Tahun 2016 kemarin tentara Kesultanan Sulu menyerang tentara Malaysia di Sabah yang memakan banyak korban menjadikan Sabah mencekam. Sebagai informasi, secara kultural, Sabah bukanlah daerah asli kekuasaan Kesultanan Sulu, Sabah merupakan kekuasaan orang-orang Dayak Borneo sebagai masyarakat asli Pulau Kalimantan, namun karena peperangan menjadikan mereka untuk pergi mengungsi ke pedalaman Kalimantan.

Keberadaan Abu Sayyaf kini sudah tidak bisa dihentikan lagi, karena selain dilengkapi dengan senjata perang yang canggih, rata-rata mereka seperti dibutakan dengan paham anti Barat, anti Yahudi dan anti-anti lainnya. Kini, Wilayah Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan sudah tidak aman lagi untuk dilalui oleh kapal-kapal perdagangan bahkan situs-situs berita luar negeri menyebut jalur ini sebagai “Somalia”nya Asia.  Malaysia dan Indonesia berperan dalam menciptakan kawasan yang mencekam tersebut,  seharusnya sejak dini negara ini menentang pergerakan-pergerakan separatis seperti ini, toh Filipina tidak pernah mendukung gerakan-gerakan separatis seperti Operasi Papua Merdaka dan Gerakan Republik Maluku Selatan, jadi mengapa kita harus mencampuri urusan dalam negeri mereka? bad decision, bad karma,,semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak memberi makan kepada Singa yang sakit agar tidak menerkam nantinya.

Semoga!

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini