Ketika Kiasan Sukmawati Berujung Laporan

Kapan terakhir kali anda tinggal di sebuah negara dimana anda bebas menyampaikan pendapat mengenai sesuatu dan tidak dilaporkan ke polisi serta di demo berjilid-jilid?. Pasti sudah lama sekali bukan? rindu sekali rasanya tinggal pada zaman Presiden yang dikenal dengan tangan besi, namun dibenci sampai akhir jabatannya dan dirindukan untuk kembali di Zaman Now.

Sukmawati, seorang wanita yang merupakan keturunan dari proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir.Soekarno menjadi korban terakhir gelombang tersebut. Mengalunkan puisinya yang berjudul “Ibu Indonesia” pada pergelaran desainer ternama Indonesia Anne Avantie ” 29 Tahun Anne Avantie Berkarya” di Jakarta Convention Centre minggu lalu. Sukmawati tidak bakal menyangka bahwa karya sastra-nya tersebut bakal berbuntut panjang hingga akan membuat nasibnya sama seperti Ahok. Ketakutan? sepertinya tidak. buktinya dia dengan lugas melakukan pembelaan atas puisinya tersebut, meskipun banyak media yang mengatakan bahwa dia menangis padahal tidak tampak kondisi tersebut sama sekali.

Terus apa pembelaan Sukmawati? setelah minta maaf dan bersilahturahmi dengan MUI, beliau mengutarakan pembelaannya. Menurut Sukma, bahwa puisi tersebut ditulisnya merupakan hasil menyelemi dan merenungkan kehidupan Kaum Ibu Indonesia di Bagian Indonesia Timur dan Bali. Hal tersebut berarti ungkapan tersebut bukanlan merupakan gambaran dalam hari Sukmawati sendiri. Namun sebagai seorang yang tinggal di daerah Timur Indonesia, saya tidak merasa banyak Ibu-ibu Indonesia di sini yang terlalu memikirkan Ajaran Agama yang dimaksud oleh Sukma, karena hal tersebut bukanlah agama mereka. Pengamatan saya juga meyakini bahwa mereka juga tidak terlalu memikirkan Budaya Indonesia lainnya seperti contoh Budaya Jawa dan Budaya Melayu yang menjadi inti Bangsa Indonesia karena populasinya yang dominan. Sehingga saya berpendapat tidak tepat rasanya bahwa puisi ini merupakan gagasan dan pemikiran dari Ibu-Ibu di Indonesia Bagian Timur. Menurut saya itu hanya pembelaan Sukmawati saja karena sedang terdesak permasalahan ini. Tapi sekali, lagi mungkin beliau sudah melakukan survei sebelum menulis bukunya? siapa yang tahu?

Selanjutnya masalah pembandingan kidung dengan Azan yang banyak mengundang kritik dan kerutan dari sebagian orang tersebut. Sukmawati membela hal tersebut dan berpendapat bahwa tidak semua orang seharusnya diberikan keistimewaan untuk mengkumandangkan azan karena menurutnya lagi tidak semua orang mempunyai suara yang merdu. Jadi berdasarkan pendapat Sukmawati seorang Muazin haruslah mempunyai suara yang merdu dan enak di dengar. Sebenarnya kidung seperti apa yang dimaksud oleh Sukmawati, apakah yang dimaksudnya adalah Sinden atau kidung pujian atau apa? tidak jelas. Kidung Ibu Indonesia bunyinya seperti apa juga kita tidak pernah tahu, karena mungkin hanya kiasan saja untuk menggambarkan kecantikan wanita Indonesia yang berbusana tradisionalnya. Namun yang jelas perbandingan yang dilakukan oleh Sukmawati ini sangat sensitif, penuh kiasan dan alangkah buruknya dia tidak menyadari sebelum dia membaca puisi tersebut di khalayak ramai. Apakah dia tidak belajar dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi Tahun 2017? dimana pelaporan gugatan hukum marak terjadi dengan alasan penistaan agama.

Satu yang tidak diketahui oleh orang banyak adalah bahwa Sukmawati merupakan salah satu pendukung paham yang Marhaen yang dipelopori ayahnya. Jadi tidak terkejut jika dia lebih membanggakan identitas nasionalnya daripada kepercayaannya. Ingat rata-rata kaum nasionalis itu sangat moderat karena mereka menjunjungi nilai-nilai nenek moyang luhur. Akan tetapi tentunya akan berbenturan dengan kaum agamis yang lebih mementingkan nilai nilai agama.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Sari Konde itu? benda apa itu, sampai sekarang masih populer di media sosial. Sebenarnya yang dimaksud Sari Konde di sini menurut saya adalah ciri khas wanita Indonesia tradisional yang sering menggunakan konde dengan kebayanya. Sukmawati sepertinya ingin mengatakan bahwa baik wanita yang tidak bertutup kepala maupun bertutup kepala sama sama cantik. Jadi dimana permasalahannya?

Terus mengenai puisinya yang paling mengena adalah Pandanglah Ibu Indonesia Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu” . Bagian itu sudah menunjukan inti dari puisi tersebut bahwa maksud dari puisi ini adalah bangsa kita haruslah bangga dan melestarikan jati diri dan identitas serta budaya asli kita tanpa harus tenggelam dengan budaya asing sehingga nantinya anak cucu kita juga melihat bagaimana sih budaya asli Indonesia itu?

Saya tidak terlalu mengenal siapa Sukmawati selain karena dia beliau adalah seorang tokoh masyarakat yang kebetulan Putri Presiden Soekarno. Namun menurut pendapat saya Sukmawati tidak berniat untuk merendahkan agama tertentu karena selain beliau sendiri penganut agama tersebut puisi tersebut penuh dengan kiasan dan perumpamaaan. Sehingga bagi orang-orang tidak terbiasa membaca karya-karya sastra yang bahasanya perlu analisa mendalam untuk dipahami, akan gagal memahami maksud utama dari puisi tersebut. Ditambah lagi dengan peran media sosial yang membuat setiap informasi sensitif tersebar dengan cepat, tak pelak lagi membuat masa akan menghujatnya ramai-ramai.

Satu yang bisa dipelajari dari kasus Sukmawati ini adalah berhati-hatilah berucap di Zaman Now sekarang ini karena sudah terlalu banyak orang over-sensitive, apalagi kalau menyangkut agama. Jika ingin membaca puisi sudah seharusnya dibacakan di forum sastrawan karena pada dasarnya orang awam tidak dapat menangkap maksud dari karya sastra tersebut. Sehingga diartikan secara literal dan harfiah, padahal maksud awalnya bukan demikian.

Pertanyaan yang paling penting adalah, apakah perbuatan Sukmawati ini tergolong Penistaan Agama atau tidak, mari kita lihat bersama-sama pasal penistaan agama yang disangkakan kepada beliau yakni Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 156
Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

It beats the PDE5 enzyme and makes it very difficult to compress an implementation timeline. “If you want to implement quickly, leave your business processes as they are, even if this exercise viagra free delivery only delays your eating or shortens it- It is still costly enough for the middle class people. Such types of medicines are Food and Drug Administration medicines canadian pharmacy tadalafil and are safe for the condition i.e. erectile dysfunction. Some of the most potent herbs present in these capsules can improve the flow of tadalafil generic blood is increased, men are able to attain an erection at all. Last of all, before you use or take discount cialis any type of medicines and treatments for your problems.

Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika ditinjau secara literal puisi tersebut sudah jelas mengundang permusuhan dan kebencian, terbukti banyaknya orang-orang yang menghujatnya di media sosial. Tapi harus dilihat apakah benar maksud utama Sukmawati memenuhi unsur kedua pasal ini? di sini harus diminta bantuan dari ahli bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Karena bahasa puisi itu pernuh makna kiasan sehingga tidak bisa disamakan dengan kasus Ahok yang spontan.Jadi menarik bagaimana nantinya kasus ini akan berakhir. Melihat Pemilihan Presiden sudah semakin dekat akan ada namaya “Drama Politik” besar-besaran nantinya. Akan ada tentunya sebagian pihak yang akan memanfaatkan kondisi-kondisi seperti ini untuk kepentingan politiknya. Semoga saja tidak ada dan semua terselesaikan dengan baik. Amin

About the Author

Obbie Afri Gultom, SH, MA, LLM, CHFI, is the Editor-in-Chief at "Gultom Law Consultants", now a part of Gading and Co, a leading firm in corporate management and consulting. A graduate of Erasmus University Rotterdam in 2019 through the StuNed scholarship program, he completed his Master of Law at the University of Auckland in 2022. With four years of experience in Corporate Business Law, including two years in the private sector and two years in a law firm, along with nine years in State Financial Law and Public Audit as an Auditor, Obbie possesses deep expertise in contract writing and review, legal research, merger and acquisition processes, corporate management, Good Corporate Governance (GCG), and public auditing. Additionally, he has three years of experience as a Development Policy Researcher at Erasmus University Rotterdam. For professional services, Obbie Afri Gultom can be contacted via WhatsApp at 08118887270.

Author Archive Page

Comments

Post a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mohon Perhatiannya

Untuk melihat isi posting ini, mohon dukung website ini dengan cara memfollow Instagram kami di bawah ini